Kamis, 14 Januari 2010

Kebersamaan Saat Perpisahan Sangat Terasa Di Hati












Tanggal 12 Januari 2010 bertempat di Saung Komala, Tangerang, kami berpesta dengan cara yang sederhana untuk melepas kepergian ( secara kedinasan) Bapak Basir Manurung, Bapak Edy Priyanto, dan Bapak Ismadi dari Garuda Indonesia Cargo, khususnya cargo export. Memang penulis bukanlah bagian dari institusi ini, namun kebersamaan yang telah dijalin selama bertahun-tahun membuat penulis ikut larut dalam acara tersebut. Selamat tinggal Bapak-Bapak, kita akan berpisah tapi untuk bertemu kembali kelak jika ada umur panjang dan kesempatan..

Minggu, 09 Agustus 2009

Kelalaian Adalah Musuh Besar Profesionalisme

Setiap pekerjaan hampir pasti mengandung resiko. Yang membedakan adalah besar kecilnya resiko itu berdampak kepada kita. Apa yang kita kerjakan sebenarnya sudah diatur pada SOP perusahaan tempat kita bekerja. Dan itu sudah diketahui oleh setiap pekerja bahkan dikerjakan setiap hari. Sepanjang pekerjaan itu dilakukan dengan serius dan hati-hati tentu hasilnya akan baik.
Yang berbahaya adalah sikap lalai dalam bekerja. Sikap ini menurut penulis bermula dari ketidak seriusan atau memandang remeh pekerjaan yang sudah kita lakukan sehari-hari. So mari kita sepakati, bahwa kelalaian kita dalam bekerja adalah musuh besar kita untuk bekerja profesional.

(terinspirasi dari kesalahan kerja yang dibuat penulis pada tanggal 7 Agustus 2009)

Rabu, 13 Mei 2009

" Hantu" itu Bernama Outsourcing

Sewaras-warasnya orang kerja pasti berharap imbalan. Tapi kalau upah sudah dianggap nomor sekian, dan utamanya diterima kerja dulu, itu sungguh keterlaluan. Artinya mburuh dulu, lepas nanti siapa majikannya. Ini bukan lantaran susahnya nembus lapangan kerja. Sebab peluang yang begitu sulitnya didapat itu, sewaktu-waktu masih bisa terlepas lagi. Begitulah sistim outsourcing. Kepastian kerja tak bisa digenggam. Outsourcing, yang diindonesiakan “alih daya”, dalam hukum ketenagakerjaan difahami sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja. Tadinya dimaksud efisiensi biaya produksi di mana perusahaan menghemat pengeluaran dalam membiayai sumberdaya manusia. Mereka lebih untung memberi fee kepada agen penyalur atau vendor ketimbang harus mengongkosi buruh formal (pegawai tetap). Apalagi kalau harus ada komponen pesangon, tunjangan pensiun, dll. Maraknya sistim ini berlangsung di tengah krisis kapitalisme pertengahan 90’an. Saat menjelang badai moneter tahun 1997 di Asia banyak perusahaan mengalami kelangkaan likuiditas. Di Indonesia, industri manufaktur penyerap tenaga kerja yang berbahan baku impor pada kelimpungan. Sebelumnya di antara mereka, secara halus dan terselubung, mulai memberlakukan rekruitmen buruh ala ‘pocokan’. Pekerja dimagangkan dulu untuk jangka tiga bulan, misalnya. Lalu status magangnya dalam bentuk training itu, diperpanjang lagi sekian waktu. Karena masih berstatus training, perusahaan terhindar dari tanggungjawab menaikan upah berkala. Dan, pastilah tak repot menghadapi serikat buruh (SB). “Sekali pukul, dua atau tiga tujuan terpenuhi”, ujar Wismoyo, seorang buruh di Palur, Surakarta, Jawa Tengah, menambahi alasan mengapa kemajuan SB terkecoh atas pemberlakuan praktik sistim kerja subkontrak tersebut. Akibatnya, saat perusahaan pengerah tenaga kerja menjamur, saat itu pula banyak organisasi SB menyurut pamornya. Mesti diingat pula, selama ini penyedia jasa melakukan proses administrasi dan manajemen berdasar definisi dan kriteria yang dimaui perusahaan pengguna. Tetek bengek administrasi ini, termasuk pula setoran uang ‘panjer’ (DP) bagi buruh yang ingin lekas kerja. Besarannya dari puluhan ribu sampai jutaan rupiah. Belum nanti kalau sudah gajian harus dipotong antara 15–25 persen oleh pihak penyalur, yang kerap pakai nama Yayasan. Ngerinya, bila terjadi kesalahan kerja, bisa dipecat sewaktu-waktu tanpa ada perlindungan agen penyalur tersebut. Lebih jauh, kalau ditelisik kebelakang, selama krisis kapitalisme yang menahun itu, praktik meng-outsource tenaga kerja itu sudah berlangsung jauh sebelumnya. Sudah cukup lazim untuk keahlian tertentu dan jangka waktu terbatas, perusahaan merekruit pekerja tidak tetap. Pekerja ‘pocokan’ ini memiliki kapasitas ketrampilan sesuai proses kerja tertentu di dalam perusahaan. Pada awalnya perusahaan cukup ketat dalam menjalankan praktik outsourcing. Mereka masih taat aturan mainnya. Dilakukan terpisah dari kegiatan utama (core business) dan sebatas penunjang pada sebagian saja (non core business unit). Bukan keseluruhan dari proses produksi perusahaan. Sehingga harapannya bisa fokus berkompetisi pada inti bisnisnya. Namun dalam perkembangannya, akibat tiadanya perangkat kontrol dan sanksi dari pemerintah, pihak manajemen amat latah mempraktikkan pola rekruit subkontrak. Mentang-mentang pasar tenaga kerja melimpah. Sehinga sedikit-sedikit, larinya ke perusahaan outsourcing. Hampir semua lini kerja di-sub-kan. Mereka cuci tangan nggak usah repot berinvestasi pengembangan SDM jangka panjang. Tak perlu mikir kesejahteraan buruh dan berbagi keuntungan (benefit). Soal pekerja, ya biarlah diurus perusahaan agen penyalur. Alhasil, bisnis jasa pengerah tenaga kerja jadi ladang menggiurkan. Punya biro dan pasang spanduk sampai ke desa-desa. Apalagi buat kepentingan ekspor ke luar negeri menjadi TKI. Bukankah ini juga membantu pemerintah mengatasi pengangguran? Manis betul ini diucapkan. Seolah ia paling sok berjasa. Padahal hakekatnya, para calo tenaga kerja ini tak lebih jaringan panjang mata rantai pengutil keringat kerja buruh. Mereka hanya berbekal akses informasi peluang lowongan kerja. Ambil peran broker mengantarai penjual dan pemberi kerja. Ini memang diakuinya. “Kami punya link dan informasi akurat, mana perusahaan badan usaha atau perorangan yang membutuhkan karyawan. Kami juga kadang mengadakan pelatihan khusus sesuai kebutuhan mitra rekanan. Pemerintah pasti terbantu apa yang kita lakukan”, kata seorang pegawai di sebuah perusahaan penyalur kerja di daerah ringroad selatan Yogyakarta, yang tak mau disebut namanya. Bahkan sesekali ia turut ngurus event organizer (EO) pada ajang bursa lowongan kerja di Jogja Expo Center (JEC). Kini, tentu saja keberadaan usaha bisnis outsource ini bejibun jumlahnya. Satu setengah tahun lalu saja, tercatat pada April 2006, ada 22.275 perusahaan jasa tenaga kerja dengan 2.114.774 tenaga yang memberi pekerjaan pada perusahaan lain. Pada sisi pemasok, terdapat 1.540 perusahaan pemborongan pekerjaan yang mempekerjakan 78.918 tenaga kerja dan 1.082 perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang melibatkan 114.566 buruh. Angka-angka ini di lapangan jumlahnya bisa lebih berlipat lagi ketimbang versi laporan resmi. Meskipun di kalangan perusahaan suplier —yang sebagian berembel-embel PJTKI— terlibat adu saing jasa, terkadang mereka masih bisa berbagi informasi peta potensi pihak-pihak mana yang akan membutuhkan lowongan. Pada komunitas mereka kecepatan merespon permintaan order menjadi layanan pokok. Tapi tak jarang, dari sebagian mereka ada yang tak peduli siapa dan bagaimana keadaan si pengguna kerja. Menelorkan Sejumlah Persoalan Di sinilah kerap timbul masalah. Proses pengalihan kerja dalam mekanisme outsourcing oleh kebanyakan perusahaan, khususnya perusahaan manufaktur yang padat karya, menyulut persoalan konflik perburuhan secara laten dan manifes. Mulai PHK sepihak sampai tak terpenuhinya tuntutan normatif lain. Kasus PHK saja, sampai pertengahan tahun 2007 lalu, masih ngendon 60.000 kasus yang belum terselesaikan. Nilai pesangon itu ditengarai mencapai kisaran lebih 500 miliar rupiah. Ini jadi tambahan persoalan makin ruwet. Masih berkait urusan normatif tadi, di luar kepentingan buruh, hubungan kerjasama antara agen jasa tenaga kerja dengan perusahaan pengguna outsourcing tentunya harus diikat perjanjian tertulis. “Bisa berbentuk perjanjian pemborongan pekerjaan. Ini semacam perjanjian yang dibuat para pihak yang memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti tercantum Pasal 1320 KUH Perdata seperti kesepakatan multipihak, kecakapannya membuat suatu perikatan, dan lainnya. Selain itu harus pula memenuhi UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan”, terang Fachim Fahmi, SH, konsultan hukum pada kantor Fahmi and Partner’s di Yogyakarta. Sebagusnya menurut aturan mesti ada dua tahapan perjanjian. Pertama, perjanjian antara perusahaan dengan agen penyedia. Kedua, agen penyalur kerja dengan buruh. Perjanjian kerja antara buruh dengan perusahaan outsourcing ini dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Bentuk PKWT paling sering digunakan karena dipandang cukup fleksibel bagi kepentingan perusahaan di mana lingkup kerjanya berubah-ubah sesuai perkembangan perusahaan. Berlakunya aturan subkontrak ini muncul dari UU No.13 tahun 2003 Pasal 64, 65, dan 66. Kalau sistim ini maunya dihapus, maka konsekuensinya harus ada Revisi UU tersebut. Tetapi, lanjut Fachim Fahmi, faktanya sejak tiga tahun belakangan serikat buruh menentang revisi ini. Karena disinyalir, pengusaha pasti akan memanfaatkan momentum revisi dengan tambahan klausul yang ‘menjebak’ kepentingan buruh. Aspirasi dalam tuntutan perjuangan memang harus mencermati pilihan-pilihan taktis. Kepentingan buruh agaknya selalu dalam keadaan dilematis. Sebab sedari awal, hak-haknya sudah kadung ‘dikadalin’. Para buruh subkontrak ini dipaksa mengikuti jangka waktu kerja sesuai perjanjian kerjasama antara agen penyalur dengan perusahaan pengguna. Lamanya masa kontrak berbeda-beda, ada yang setahun, ada pula yang cuma hitungan bulan. Dampak ikutannya, hak-hak buruh terus digerus dan menutup kesempatan menjadi karyawan tetap. Selain menaburkan rawan sosial yang menebar kecemburuan antar-rekan, juga menghilangkan kepastian kerja, kelanjutan kontrak, jaminan kesehatan, pensiun, kenaikan upah, jenjang karir, dan lainnya. “Ini betul-betul menjadi momok mengerikan bagai hantu siang bolong yang jelas melecehkan kaum buruh”, tukas Slamet Hidayat, buruh aktivis dari Asosiasi Pekerja Sejahtera Malang (APSM) Jawa Timur. Buruh yang semula status pekerja tetap, berangsur-angsur diubah menjadi pekerja kontrak. Biasanya ngakalinya begini. Saat mau PHK diiming-imingi pesangon menggiurkan, walaupun janji itu kerapkali jauh dari kenyataan. Bujukan ini terkadang mempan karena buruh merasa masih bisa bekerja kendati berstatus kontrak. Fungsi pengawasan oleh Disnakertrans nyaris tak bertaji. Saat ini dilaporkan hanya ada 1.410 pengawas ketenagakerjaan dari kebutuhan sekurang-kurangnya 3.600 petugas. Bahkan, di beberapa kantor Disnakertrans Kabupaten/Kota, yang jumlah perusahaannya ratusan, petugas pengawasnya hanya ada 2-3 orang. Di seluruh Indonesia, tahun 2007 dilaporkan mereka mengawasi sedikitnya 178.000 perusahaan. Dan barang tentu, bagian personalia manajemen perusahaan merahasiakan jumlah pekerja kontrak. Kalau dikatakan oleh pengusaha bahwa outsourcing ini menggairahkan produktivitas demi target capaian kapasitas produksi, anggapan ini tak selamanya benar. Dalam jangka pendek mungkin efektif digunakan pada industri baru, jenis usaha yang tinggi resikonya, atau yang masih beroperasi dalam tahap percobaan. Namun apapun dalihnya, toh yang jelas pengusaha selalu berupaya menemukan siasat memangkas biaya tenaga kerja. Karena hanya komponen ini yang paling mudah ditekan. Untuk harga pembelian bahan baku, perawatan dan pembelian mesin baru sampai urusan bayar pajak, diperkirakan tarifnya melonjak-lonjak terus. Kapitalis memang doyan obral jargon. Atas nama produktivitas, efisiensi dan kompetisi mereka berkomplot menginginkan buruh dengan upah murah. Buruh-buruh murah ini jadi kambing hitam perlakuan outsourcing. Memobilisasi buruh untuk jenis pekerjaan kontrak, paruh waktu, borongan, jangka pendek dan kasual. Di satu pihak, perubahan pola bekerja ini berakibat angkatan kerja terombang-ambing dan pekerjaan menjadi tampak sangat beragam (heterogen). Sedang di lain pihak, meningkatnya jaringan dan gerak lentur kapital global yang saling terkait membuat musuh pokok menjadi seolah sulit teridentifikasi. Ini yang terus senantiasa diusut serikat buruh dalam memetakan agenda perjuangan umum.

Minggu, 10 Mei 2009

Bekerja adalah Ibadah

Beragam cara dilakukan oleh orang-orang untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Tak terkecuali bagi penulis yang selalu ingin membahagiakan anak istrinya. Tentu saja harus dengan cara-cara yang halal( islamic rule).
Menurut pandangan penulis yang juga seorang muslim, pekerjaan merupakan sebuah ibadah. Semua dikerjakan atas dasar ingin mendapatkan ridho dari Penciptanya.
Pertanyaan mendasarnya adalah apakah hasil yang kita peroleh sudah bisa mencukupi kebutuhan keluarga? Jawaban bernada tidak puas pasti akan mendominasi pertanyaan ini. Bagi penulis ini suatu hal yang lumrah, karena pada hakekatnya manusia tidak akan pernah merasa puas terhadap sesuatu yang sudah dimilikinya. Yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapi hal ini agar tidak mengecewakan semua pihak. Mengajarkan keluarga agar senantiasa bersyukur atas apa yang sudah diraih, tetap bekerja dengan baik dan ikhlas meskipun dengan penghasilan yang pas-pasan, dan bersyukur kepada Allah SWT atas karuniaNya serta meyakini bahwa rezeki tidak akan tertukar dengan orang lain dan Tuhan tidak pernah tidur.

(sebuah renungan penulis/ 10 Mei 2009)